SOLUTION-FOCUSED PASTORAL COUNSELING
PENULIS: DR. CHARLES ALLEN KOLLAR
DITERBITKAN: ZONDERVAN PUBLISHING HOUSE, 1997
Pendahuluan
Buku karya Dr. Charles Allen Kollar ini disajikan ke dalam dua bagian besar. Bagian pertama menjelaskan dan menggambarkan model teoritis yang mendukung pendekatan-pendekatan dalam konseling Kristen. Bagian ini disajikan mulai bab 1 hingga bab 8. Sedangkan bagian kedua dari buku ini, yakni bab 9 hingga bab 16, mulai bergerak dari hal-hal yang bersifat teoritis menuju hal-hal yang bersifat praktis.
Bagian Pertama: Bab 1-8
Dr. Kollar memulai tulisannya tentang konseling pastoral yang berfokus pada solusi dengan menguraikan tentang “Paradigma Individual.” Dengan mengutip sebuah kalimat bijak yang berkata: “Pikiran kita seringkali seperti sebuah payung yang akan bekerja lebih baik (akan sangat bermanfaat) apabila payung tersebut terbuka,” Dr. Kollar menyadarkan kita bahwa kadangkala visi kita menjadi kabur atau tertutup saat kita berada di tengah-tengah krisis. Kita kerap berasumsi bahwa masa depan hanyalah suatu kelanjutan dari masa lalu yang buruk. Itulah yang disebut dengan paradigma individu. Paradigma individu menyaring semua informasi dan informasi-informasi lainnya yang tidak pantas.
Karena paradigma tertentu di dalam dirinya, manusia sering gagal menemukan berbagai hal baik di masa depan. Paradigma seseorang mempunyai kekuatan untuk membuatnya bertahan dalam mendengar dan melihat apa yang dapat terjadi. Kita perlu memahami dan menyelesaikan permasalahan. Kita harus percaya bahwa untuk mendefinisikan sebuah persoalan, kita harus mulai dengan menyelesaikan persoalan itu sendiri. Kebanyakan konseli datang kepada konselor dengan paradigma individu yang terfokus pada persoalan yang secara negatif sangat mempengaruhinya. Sebagai seorang konselor, kita seharusnya menyelidiki masalah, mencari tahu bagaimana cara berpikir, bersikap, mengetahui bagaimana perasaan konseli, dan setelah itu kita harus mengubah paradigma mereka dari problem focused kepada solution focused, sebab paradigma yang baik adalah paradigma yang berfokus kepada solusi.
Berikutnya, Dr. Kollar mendiskusikan tentang iman Kristen sebagai model dan juga dasar bagi konseling. Beranjak dari Kitab 2 Korintus 5:17 yang mengatakan bahwa “Barangsiapa yang ada di dalam Kristus adalah ciptaan baru,” ia meyakinkan bahwa ayat tersebut menjanjikan sebuah perubahan yang sangat besar dan mendalam. Konseling pastoral yang berfokus pada solusi secara khusus mencoba memindahkan konseli, maju kepada kehidupnnya yang baru. Menurut Dr. Kollar, hal ini berarti bahwa sebagai konselor, kita harus masuk di dunia “kesehatan mental”, seperti yang juga dilakukannya. Dalam hal ini, konselor haruslah cakap dalam masalah-masalah emosi agar pekerjaannya menjadi efektif. Penulis buku ini percaya bahwa tugas konselor adalah untuk melihat karya Roh Kudus di dalam kehidupan konseli. Ini adalah hal yang harus dikuasai oleh seorang pelayan.
Dalam Kolose 1:25-28 dituliskan bahwa tujuan Paulus menjadi pelayan adalah agar dapat memimpin kehidupan tiap-tiap orang untuk mencapai kesempurnaan dengan Kristus. Menurut Dr. Kollar, kata sempurna di sana menunjuk pada kesempurnaan dalam pertumbuhan rohani, kesehatan mental, dan soal moral karakter. Kekuatan seorang gembala adalah Firman Allah dan memahami pekerjan pengudusan yang dilakukan oleh Roh Kudus. Sebagai seorang Kristen, perjumpaan kita dengan Yesus, keyakinan kita akan kebenaranNya, itulah yang seharusnya mengubahkan kehidupan kita. Seorang konselor dan konseli harus sependapat tentang maksud baik Allah dalam kehidupan manusia.
Pada bab ketiga, penulis menjelaskan tentang “Kekurangan Bahasa,” khususnya dalam dunia kesehatan mental. Setelah menuliskan panjang lebar tentang kisah William, penulis buku ini menarik kesimpulan bahwa solusi tidak selalu diperoleh dari permasalahan, tetapi tentu saja jawaban dari sebuah permasalahan mempunyai peranan juga dengan permasalahan itu sendiri. Dalam menangani sebuah persoalan, para pemimpin diharapkan untuk meneliti permasalahan, menguji keahlian mereka, dan menentukan porsi waktu yang harus diberikan kepada orang-orang yang meminta bantuan. Seorang konselor yang profesional akan mendengarkan dengan hati-hati tetapi nantinya akan membuat tujuan-tujuan pemulihan berdasarkan ilmu dasar psikopatologi.
Namun demikian, psikopatologi sendiri menunjuk kepada penyakit jiwa. Di sinilah akan terjadi gesekan, sebab hakikat Psikopatologi sangat berbeda dengan khotbah apa pun dari mimbar atau pengajaran-pengajaran di kelas. Kekurangan bahasa telah menciptkan sebuah definisi yang hanya dapat pahami melalui apa yang salah, rusak dan apa yang tidak cukup (Dr. Kollar mengutip dari Goolishian, 1991). Elemen yang biasa ada dalam pendekatan psikopatologi adalah penggunaan tenaga ahli. Sang Ahli inilah yang membuat evaluasi, mendiagnosa, mengatur langkah, dan mengklarifikasi tujuan-tujuan. Semua konselor gereja yang berfokus pada solusi adalah orang-orang yang terampil, tetapi keahliannya ada di dalam proses konseling, bukan pada gangguan kejiwaan Si Konseli.
Bab keempat membahas tentang “Perkiraan-perkiraan tersembunyi: Kantong anggur yang lama”. Dalam buku ini dijelaskan bahwa konseling dibagi menjadi 2, yakni: Pertama, konseling langsung yang banyak digunakan. Pada konseling langsung para konselor bertanya langsung dengan pertanyaan dan menggambarkan kembali kata-kata dan ide-ide yang diekspresikan oleh konseli. Jenis kedua adalah konseling tidak langsung. Hal berikut yang dijelaskan oleh Dr. Kollar dalam bab ini adalah tentang “Apa yang menjadi akar masalah?” Pertanyaan tentang akar masalah dimulai dari perkiraan-perkiraan yang spesifik. Misalnya saja adanya masalah yang spesifik, penyebab yang tepat dari masalah tersebut, dan hubungan antara penyebab dan pemecahan sebuah masalah. Jika sebuah masalah ditemukan dan dipahami, barulah masalah tersebut dapat diselesaikan. Namun demikian, jika ditinjau dari segi konseling, ada hal yang tidak menguntungkan apabila kita berusaha mencari penyebab sebuah persoalan. Hal yang tidak menguntungkan tersebut adalah, dengan mencari akar masalah hanya akan membuat masalah itu terus terpelihara.
Bagimana dengan nasihat Alkitab dalam hubungannya dengan “sebab utama atau akar masalah?” Kita harus mengingat bahwah kebenaran harus diperhatikan dalam setiap keadaan dan untuk itu konselor harus sepenuhnya sadar akan semua seluk beluk keadaan. Tetapi ketika sesuatu tidak berjalan dengan baik dalam konseling, berhenti dan cobalah sesuatu yang berbeda. Waspadalah, jika seorang pendeta berkata: “Sekarang katakan apa masalahmu?” Itu artinya ia meletakkan fokus tepat pada masalahnya, bukan pada solusinya. Pengajaran adalah cara yang paling efektif yang digunakan pendeta untuk berhadapan akan dosa-dosa manusia dan kepercayaan yang tidak masuk akal.
Konseling seorang pendeta harus berfokus pada solusi (Solution Focused Pastoral Counseling – SFPC). SFPC mengajarkan bahwa di dalam Tuhan, konseli mempunyai semua sumber yang diperlukan. Prioritas konselor adalah menolong konseli untuk tidak terjebak, tidak menghasilkan perubahan kepribadian. Dalam menciptakan solusi, ingatlah bahwa Tuhan telah memberikan kemampuan untuk menciptakan solusi, solusinya dapat dibuat dan dijelaskan, solusi yang diciptakan bisa lebih dari satu, konselor dan konseli bisa membuat solusi bersama-sama, kita menciptakan solusi dengan kerja sama bersama dengan karya Tuhan dan ingatlah bahwa proses ini bisa diajarkan. Mengutip Jim Frey yang melakukan pendekatan yang berfokus pada solusi, seorang konselor gereja harus dengan hati-hati melakukan tiga hal, yaitu: menemukan apa yang diinginkan konseli, melihat apa yang telah Tuhan taruh dalam kehidupan konseli, dan berani melakukan sesuatu yang berbeda.
Selanjutnya, buku ini menjelaskan tentang “Arti adalah Tanggapan: Sebuah Gagasan yang Mengikat Kita.” Dalam bagian ini, penulis mengulas tentang konstruktivisme dan pelabelan. Menurut Dr. Kollar, setiap orang dipisahkan oleh ide-ide umum, kenangan-kenangan dan juga perasaan-perasaan. Semakin kuat kita memegang suatu kepercayaan, semakin kita mengikuti apa yang kita pegang. Apa yang kita percayai tentang dunia akan membentuk cara kita hidup di dunia ini. Seorang konselor yang berfokus pada solusi akan menuntun tetapi tidak mengontrol wawancara konseling dengan menggunakan pertanyaan. Jadi, tujuan akhir konseling adalah dengan cara yang baik memberikan kemungkinan-kemungkian solusi tanpa permasalahan.
Bab keenam buku ini mengajarkan tentang “Pembentukan Identitas.” Pendekatan yang berfokus pada solusi mendorong perubahan yang positif dengan memberi tekanan pada hasil dan dengan sangat hati-hati menggambarkan visi tentang bagaimana menapaki jalan keluar. Hal ini berfokus pada kualitas, kekuatan-kekuatan dan ketrampilan-ketrampilan yang sesuai dengan kompetensi Si Konseli. Dalam menjelaskan tahap pembentukan kepribadian, Dr. Kollar mengutip karya Erickson untuk menggambarkan delapan tingkat pembentukan kepribadin manusia. Kedelapan fase tersebut adalah: Percaya/ tidak percaya (usia 0 – 1 tahun); Otonom/ ragu-ragu (1 – 3 tahun); Inisitaif/ rasa bersalah (3 – 5 tahun); Rajin/ rendah diri (6 – 11 tahun); Identitas/ kebingungan peran (11 – 18 tahun); Keintiman/ pengasingan (dewasa muda); Menghasilkan/ stagnasi (usia pertengahan); dan Integritas/ putus asa (usia tua).
Penulis buku ini juga menekankan bahwa pengembangan kepribadian dimulai dengan tujuan-tujuan dari Allah. Psikologi dan antropologi haruslah diinformasikan oleh teologi. Campur tangan Allah di atas manusia harus menjadi kebenaran dari pertumbuhan tentang kerpribadian manusia, bukan semata-mata pemahaman dan tanggapan kita atas diri sendiri. Lalu apa signifikansi dari pengembangan indentitas ini dengan konseling? Kita harus setuju dengan campur tangan Allah dalam hidup kita bila kita berharap dapat berjalan bersama-Nya (Amos 3:3). Tepatnya, proses konseling harus menjadi alat bantu yang menolong konseli menemukan jalan dengan memandang pada proses pembentukan melalui persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Sekali lagi fokus atau tujuan seorang konselor adalah menolong konseli kembali pada track yang benar bersama dengan Allah.
Dua bab terakhir dalam bagian pertama buku ini membahas tentang bagaimana memandu anggapan-anggapan (berkaitan dengan cara berpikir) dan tentang integritas pribadi, yang menyediakan sebuah panduan etis dalam konseling Kristen. Berkaitan dengan cara berpikir, Dr. Kollar berkata bahwa kadangkala cara berpikir kita terbatas hanya pada apa yang dapat kita lihat. Oleh karena keterbatasan itulah, pada bab ini disediakan panduan anggapan dasar yang perlu kita miliki dalam melaksanakan SFPC.
Sembilan asumsi tersebut adalah: Tuhan masih dan terus aktif di dalam diri Si Konseli, persoalan yang kompleks tidak menuntut solusi yang kompleks pula, menemukan pengecualian menolong menciptakan solusi, Si Konseli selalu berubah, Si Konseli mampu dan dapat menetapkan tujuan, solusi dapat tercipta dengan bantuan (sebagai konselor gereja tugas kita adalah membantu konseli menciptakan realitas bahwa ada sebuah kesempatan untuk perubahan yang positif), Si Konseli bukanlah masalah, hubungan di dalam konseling tergantung pada posisi (seseorang dapat berada pada posisi rela, merasa disalahkan atau pada posisi menghadiri; jika konseli berada pada posisi “rela” akan mudah diajak kerjasama). Akhirnya, fokus seorang konselor adalah pada solusi.
Tentang etika dalam konseling, Kristen buku ini mengingatkan beberapa hal penting, yakni: tetaplah menjaga batasan-batasan anda, konseling harus didasari oleh kerangka teoritis pembentukan identitas dan memulihkan perkiraan-perkiraan, hak seorang konseli adalah yang utama, lakukanlah setiap usaha untuk menahan diri dari hubungan rangkap, yakinlah bahwa Si Konseli menyadari tanggung jawab dan batasan-batasan dari hubungan konseling, seorang konselor tidak boleh bersifat romantis atau memiliki keintiman seksual dengan konselinya, dan akhirnya kita diingatkan agar jangan menggunakan diagnosa atau prosedur perlakukan tertentu yang kita sendiri belum pernah mendapatkan pelatihan.
Bagian Kedua: Bab 9-16
Bagian kedua ini diawali dengan penjelasan tentang “Wawancara Konseling” yang di dalamnya merupakan usaha untuk mengusulkan kerangka perubahan. Menurut Dr. Kollar, seorang konselor pastoral yang berfokus pada solusi akan memperlakukan orang (konseli) dengan cakap. Konselor yang baik akan menyarankan perubahan sebagai pusat. Ini artinya menggeser orientasi dari persoalan-persoalan kepada solusi-solusi. Gambaran terbaik akan hal ini adalah sebuah kisah Sekolah Minggu tentang kereta yang melaju pada jalurnya. Mesin kereta merepresentasikan kebenaran Firman Tuhan dan keputusan yang kita buat. Gerbong yang tengah menggambarkan keputusan yang kita buat dan apa yang kita yakini, sedangkan dapur di kereta itu merupakan karakteristik kehidupan emosional kita. Seperti halnya bagian dapur yang digunakan oleh para kru kereta ketika mereka melakukan perjalanan jauh agar tetap hidup, demikian pula emosi kita adalah tentang “dimana kita hidup.” Yang pasti, kereta itu perlu jalur dan juga tujuan. Jalur itu mengilustrasikan tindakan untuk mencapai tujuan.
Pada bab ke sepuluh, Dr. Kollar menulis tentang mendengarkan dengan penuh perhatian sebagai pencarian petujuk dalam proses konseling. Mendengarkan dengan penuh perhatian ini berbeda dengan mendengar secara pasif atau secara aktif. Mendengar dengan penuh perhatian artinya memberikan kualitas perhatian, mendengar secara tajam agar menemukan petunjuk yang diperlukan. Mendengarkan dengan penuh perhatian membuktikan kebutuhan untuk memiliki perasaan yang benar. Menurut Dr. Kollar, maksud dari SFPC adalah untuk mendirikan hubungan yang bersifat kolaboratif dengan konseli. SFPC percaya bahwa daya penggerak sebuah perubahan adalah melalui perbaikan konsepsi-konsepsi. Ketika seorang konseli berpindah pada solution focuse, proses perubahan itu telah dimulai.
Dr. Kollar juga menjelaskan tentang perlunya seorang konselor memberikan dorongan umpan balik kepada konseli. Mengapa demikian? Sebab konseli adalah orang yang berada di tengah-tengah persoalan, menghadapi ketakutan dan juga keraguan. Bagi konseli, mendapatkan dorongan sama artinya mendapat manfaat yang sangat besar. Dalam usaha menciptakan lingkungan yang mendukung seseorang, konselor dapat menggunakan pola HOPE, yang masing-masing abjadnya merupakan singakatan dari sebuah pesan. Hopeful, Optimistic, Positive, Expectant. Tak ketinggalan di dalam buku ini juga dilampirkan contoh lembar wawancara SFPC.
Bagian berikut yang dibahas dalam buku ini adalah tentang memilih jalan. Menurut penulis buku ini, sekali saja ketika seorang konselor diundang ke dalam sebuah percakapan, metode pemilihan jalan dapat dimulai. Allah telah memberikan daya imajinasi yang mengagumkan kepada setiap manusia. Daya imajinasi itu dapat berguna untuk membayangkan solusi pada masa yang akan datang dan melihat kehidupan seperti apa yang akan terlihat ketika masalah ini teratasi? Untuk mengembangkan hasrat mendapatkan hasil yang baik haruslah dimulai dengan memilih jalan. Dalam memilih jalan ini, Dr. Kollar memberikan saran tentang jalan-jalan yang dapat dipilih dalam proses konseling itu sendiri.
Hal itu meliputi: Apa perubahan yang baru saja dialami? Pada jalan pertama ini seorang konselor menganggap bahwa perubahan yang baru terjadi adalah sebuah kemungkinan dan konselor ingin tahu, apa yang dapat diubah. Berikutnya adalah fokus pada masa depan. Langkah pertama mungkin sangat diperlukan untuk mulai memformulasi dan mendefinisikan tujuan. Pilihan langkah kedua ini adalah usaha membangun fokus pada masa depan. Melaluinya solusi kreatif dikembangkan. Solusi yang mendorong iman dan kecakapan serta hasil yang positif. Langkah ketiga adalah mengelola. Mungkin saja pada langkah kedua, konseli merasa putus asa sebab apa yang menjadi tujuan tidak tercapai. Sekaranglah saatnya konselor mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya “mengelola”. Jika langkah ketiga tidak membuahkan hasil, maka konselor harus masuk pada langkah berikut, yakni meletakkan masalah-masalah itu di luar (externalize the problem). Proses eksternalisasi itu sendiri meliputi beberapa tahapan seperti tergambar pada halaman 131 (mengikuti pola White & Epston). Pada bagian akhir bab ini, Dr. Kollar meyakinkan pembacanya bahwa apabila ada kegigihan dalam meyakini rancangan dan pekerjaan Allah, maka solusi akan tercipta.
Selanjutnya dalam bagian praktis ini, Dr. Kollar menuliskan tentang penjelasan visi, yakni usaha menggambarkan kehidupan tanpa masalah. Hal itu dapat dimulai dengan menggambarkan tujuan yang akan dicapai, menjelaskan tujuan tersebut, membuat pertanyaan tentang jalan pilihan untuk menggambarkan tujuan secara jelas, kriteria untuk merumuskan, menjelaskan tujuan, dan akhirnya mulai mengikuti jalan yang mengatur tujuan tersebut. Tak ketinggalan, Dr. Kollar juga membahas tentang perlunya respon balik yang bersifat mendukung dalam bagian praktis ini. Pembahasan ini didasarkan atas sebuah ayat dalam Amsal 18:21 dan 1 Tesalonika 5:11 yang menekankan pada perlunya memberikan dorongan yang baik. Respon yang bersifat mendukung ini dapat kita berikan dengan memberikan dorongan untuk melakukan tindakan yang positif, mengurangi ketakutan, dan membangun benteng kekuatan Si Konseli, memberikan komentar-komentar yang bersifat mendidik, menolong untuk konseli melihat kembali tujuan yang telah digambarkan, dan akhirnya dukungan itu juga dapat diberikan melalui pemberian tugas-tugas sederhana yang memotivasi konseli untuk berkembang.
Tiga bab terakhir dari buku ini lebih berisi saran-saran praktis untuk memperkuat perubahan, menerapkan asumsi-asumsi dalam SFPC, dan akhirnya menyajikan bagian tentang tanya jawab sebagai pertimbangan akhir. Tentang perlunya memperkuat perubahan, Kollar mengajarkan tentang apa yang harus dilakukan oleh seorang konselor ketika keadaan semakin baik, atau sama saja, atau memburuk, bahkan jika keadaan seperti kembali pada titik semula. Dalam penjelasan tentang bagaimana menerapkan asumsi-asumsi SFPC (ada 9 asumsi seperti telah diringkas di atas), Dr. Kollar tampak seperti mengulas kembali apa yang telah disampaikannya pada bab 8. Bab terakhir buku ini berisi pertanyaan-pertanyaan penting tentang konseling. Pertanyaan-pertanyaan yang dibahas antara lain tentang kelainan kepribadian, pengobatan psikotropik, dan lain sebagainya. Semua hal itu dibahas dengan sangat baik dan mudah dipahami.