Selasa, 27 Januari 2009

Karya dan bukan Kursi.

Christian Ethics in Leadership adalah kuliah pertama saya di program pasca sarjana, dan sungguh sebuah anugerah saat kami mendapatkan seorang pengajar yang sederhana (bahkan tampak lusuh) dan bersahaja cara bertutuenya. Walaupun bergelar Doktor Theologi, pria ini tampak sangat rendah hati dan sederhana. Pergi dan pulang mengajar ditempuhnya dengan menggunakan angkutan umum.
Dalam kesaksiannya ia mengaku mengajar program S-1 dan S-2 di lima Sekolah Tinggi Teologi di Jakarta ini, dan berkali-kali dia diminta menjadi pemimpin jurusan atau bahkan pemimpin sekolah, namun dia menolaknya sebab ia tidak ingin menetap pada satu sekolah saja. Ia sadar panggilannya adalah menjadi pengajar dan ia ingin mengajar orang sebanyak mungkin. Tentu saja hal itu tidak akan maksimal jika ia menetap di sebuah sekolah saja.
Kalimatnya yang paling mencengangkan saya adalah saat ia mengatakan: “saya lebih suka karya daripada kursi (kedudukan)” Saya rasa hanya orang yang tahu tujuan dan panggilan hidupnya yang mampu mengucapkan kalimat arif tersebut. Jaman sekarang ini, siapa yang tidak ingin kursi? Kursi identik dengan kehormatan atau gengsi. Kursi juga identik dengan kelancaran materi. Semua orang menginginkannya bukan? Bukankah Pemilu di negeri kita tahun 2009 ini juga ajang rebutan kursi? Semoga kita semua lebih mengedepankan karya daripada kursi. Semoga pula setiap orang yang memiliki kursi tidak lupa berkarya. Semoga pula mereka yang sudah duduk di kursi tidak lupa berdiri ! Semoga kita mampu mendahulukan karya dan bukan kursi.
Kuliah Lagi

Setelah menunggu dua tahun dan disertai pergumulan serius beberapa bulan terakhir akhirnya saya kembali ke bangku kuliah. Sempat was-was juga soal kemampuan sendiri, soal biaya dan beberapa hal lainnya. Disisi lain syukur mengalir deras dari hati kecil karena istri tercinta mendukung sekali, sungguh itu adalah dukungan terpenting yang saya terima.
Hal yang paling mengkhawatirkan saya sebenarnya adalah soal kemampuan akademis, nggak pede rasanya dan kalau dibayangkan jauh kedepan…wah dua tahun lagi baru selesai…lama banget!!!!!! Syukur juga karena Allah tidak pernah membiarkan saya melangkah sendirian menanggung beban pikiran yang demikian. Dalam masa-masa pergumulan menjelang masuk kampus lagi dan saat menapaki hari-hari pertama di perkuliahan ada perenungan menarik yang Tuhan ajarkan kepada saya.
Pertama dalam pergulatan batin Tuhan bertanya, apa motivasiku sekolah lagi? Pertanyaan yang mencuat keluar dari hati kecil ini sempat mengganggu saya berminggu-minggu lamanya. Apakah supaya ada embel-embel Master di belakang gelar sarjana saya? Jika benar,itu artinya saya sekolah hanya demi gengsi. Syukurlah itu bukan saya! Motif lain yang saya selidiki adalah apakah agar mendapat promosi atau kenaikan gaji? Syukurlah itu juga bukan, sebab saya sudah kenyang dengan jabatan yang tidak pernah saya minta. Motivasi saya hanya satu, saya ingin lebih banyak berbagi walau tidak naik gaji! Saya mau jemaat semakin berpengetahuan karena saya ditambahkan pengetahuan.
Kedua, di atas telah saya tuliskan keluhan saya tentang lamanya waktu yang harus saya tempuh dalam kuliah ini. Tentang inipun Tuhan berbisik dalam doa saya: “jangan lihat bulan depan atau tahun depan, tetapi lihatlah hari ini dan ayunkan kaki menjalani hari ini!” Buru-buru saya tersadar, benar juga ya…ngapain kuatir dengan sesuatu yang masih jauh di depan. Saya jadi terdorong menjalani Senin sampai Jumat perkuliahan dengan rasa syukur. Saya mulai kuliah 19 Januari itu artinya 19 Januarilah yang harus saya hadapi, bukan 23 januari…pasti nanti saya akan tiba di 27 November akhir perkuliahan. Bukankah demikian halnya dengan hidup kita? Kita sering kuatir dengan bulan depan dan tahun depan. Nikmatilah hidup dan jangan kuatir, kesusahan sehari cukuplah untuk sehari, seperti dikatakan dalam Matius 6:34. Esok ada kesusahan lain dan pasti ada juga jalan keluar lain.
Semoga pengalaman ini bermanfaat bagi yang lain.

Renungan

Mulai Dari Nol
Selain slogan “Pasti Pas” dalam layanannya kepada konsumen, Pertamina juga mencoba meyakinkan para pembelinya bahwa mesin pompa mereka dimulai tepat dari angka nol pada saat pengisian bahan bakar, entah Pertamax, Premium atau Solar. Itulah kalimat yang kerap diucapkan karyawan SPBU pertamina belakangan ini. Kalimat yang bertujuan untuk meyakinkan ketepatan kerja para karyawan dan juga mesin pompa mereka.
“Mulai dari nol ya, pak…।” Kalimat pendek karyawan SPBU itu mendadak muncul dalam benak saya tanggal 1 Januari tahun 2009 kemarin. Kalimat itu membekas dengan kental karena paling tidak 3- 4 hari sekali saya harus ke SPBU mengisi bensin sepeda motor saya. Setelah mengingat itu, tiba-tiba saja saya bergumam kepada diri sendiri: “Ini tahun baru…semestinya saya mulai dari nol dengan Tuhan.” Memang saya harus menjadi bangkrut di hadapan Tuhan. Tiada satupun yang dapat saya banggakan dan saya perlu merengek lagi kepada Tuhan: “Aku tidak punya apa-apa Tuhan…I need you Lord more than anything”

Tahun baru, tanggung jawab juga pasti baru. Tahun baru tantangan juga baru. Dan pasti berkat Tuhan juga baru, baik jenis, model, kemasan ataupun cara pengirimannya. Tahun yang baru adalah saat melakukan transformasi bagi kita. Saat yang tepat untuk menghasilkan yang lebih baik lagi. Oleh karena itu saya memutuskan menjadi bangkrut di hadapan Tuhan, seperti halnya Yosia saat memerintah Yehuda. Pada tahun-tahun awal dari 31 tahun masa kekuasaannya, Alkitab mengatakan dalam II Tawarikh 34:3 “…ia mulai mencari Allah Daud, bapa leluhurnya,….” Hal ini bukan berarti Yosia belum pernah mengenal Allah Daud leluhurnya. Yosia pasti pernah mendengar ajaran entang Allah yang perkasa, sebab pendidikan di Israel pada masa itu menggunakan tradisi oral yang begitu kental, di mana orang tua biasa menceritakan mujizat-mujizat dan hal-hal rohani lainnya tentang Allah kepada anak cucu mereka berulang-ulang, tepat seperti diajarkan dalam kitab Taurat.
Ulangan 6:6 Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, 6:7 haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. 6:8 Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, 6:9 dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.

Jadi,apa artinya Yosia mulai mencari Allah Daud? Ini berarti Yosia membangun sebuah komitmen baru untuk menempatkan Allah sebagai top priority. Dalam sejarah sebelum pemerintahan Yosia kita melihat Allah ditempatkan hanya sebagai obyek yang timbul tenggelam, tak lebih dari sandal yang sebentar dipakai dan sebentar kemudian diletakan begitu saja. Sebelum masa Yosia, Allah bukanlah top priority orang Israel. Memang seharusnya Allah menjadi Subyek yang berkusa dan bukan obyek yang kita atur seenaknya. Tahun yang baru adalah saatnya kita menemukan kembali Allah yang kita benamkan dalam kesibukan-kesibukan kita di tahun yang lalu dan menjadikan Dia tujuan dari apa yang kita kejar di tahun yang baru.
Tahun yang baru, alangkah baiknya jika kita menjadi bangkrut secara rohani dan kembali mulai dari nol. Happy New Year 2009!