Kamis, 31 Juli 2008

ORANG SEHAT YANG “SAKIT”

Jika kita diminta menyebutkan berbagai macam penyakit yang ada disekitar kita dan tanda-tanda fisiknya, dengan lancar kita akan menyebut: Influenza. Penderita influenza biasanya terserang deman, menggigil, bersin-bersin. Kemudian sakit kulit, dengan aneka macamnya yang meninggalkan bekas di kulit seperti kurap dan juga panu. Lalu ada juga sakit diare yang membuat penderitanya harus bolak-balik mengunjungi kamar mandi.
Tetapi siapa yang menduga kalau dalam tubuh yang sehat, aktif bekerja, segar-gemuk bisa jadi ternyata sedang “sakit” . Coba kita periksa jangan-jangan kita juga termasuk di dalam golongan orang sehat yang “sakit” seperti diungkapkan oleh Dr. R. Surya Widya Sp. KJ. Malahan orang sehat yang “sakit” ini bukan “sakit” biasa, melainkan sakit jiwa, walau masih golongan rendah.
Menurut Dokter ahli jiwa tersebut, orang sehat yang sebenarnya sedang “sakit” menampakkan beberapa ciri-ciri berikut:
1. Sangat mementingkan diri sendiri (egois) 6. Curang
2. Hutang tidak mau bayar 7. Senang korupsi
3. Tidak tahu malu 8. Tidak mau antri
4. Senang melihat orang lain susah 9. Suka melanggar ketentuan yang berlaku
5. Iri hati melihat orang lain berhasil
Jika kita renungkan lebih jauh, beberapa ciri dari penyakit jiwa golongan rendah tersebut adalah hal-hal yang sangat merusak dan menghancurkan sebuah hubungan. Mari kita mencermati hal-hal tersebut dan membuktikannya dalam kaca mata kebenaran Alkitab.

1. Egois & Iri hati (EGI)
Hubungan yang langgeng dan menguntungkan kedua pihak adalah manakala kedua pihak yang menjalani hubungan tersebut masing-masing tidak mementingkan diri sendiri. Tidak boleh ada yang berpikir “apa yang akan saya dapat dari dia?” Manusia yang berpikir dan bertindak demikian adalah manusia tipe “sedotan atau vacuum cleaner.” Sebuah kalimat bijak mengatakan “jika engkau mengharapkan seorang sahabat engkau akan selalu menunggu tetapi jika engkau mau menjadi sahabat bagi orang lain, banyak orang akan mencarimu!”
Berikutnya, sebuah hubungan akan menjadi hancur apabila kita biarkan di dalamnya tumbuh rasa iri hati terhadap apa pun juga yang dimiliki orang lain. Iri hati terhadap keberhasilan orang lain. Iri hati terhadap rezeki orang lain. Tahukah saudara …? Kabarnya, para nelayan yang menangkap kepiting membiarkan kepiting tangkapannya berada dalam sebuah ember tanpa penutup. Mereka tidak khawatir kepiting-kepiting itu akan keluar dari “penampungannya”, sebab mereka sudah tahu kebiasaan para kepiting. Biasanya jika ada seekor kepiting mencoba memanjat ember untuk “kabur”, rekan-rekannya sibuk untuk menariknya kembali di dasar ember tersebut, demikian seterusnya, siapa pun yang mencoba memanjat akan ditarik hingga kembali terjatuh.
Kalau kita senang melihat teman kita susah, kalau kita benci dengan teman kita yang ingin maju dan mencoba menghalanginya … kita tidak lebih baik dari kepiting! Pada saat seperti itulah iblis masuk dan mengacaukan hubungan kita dengan orang lain. Simaklah apa yang dikatakan Yakobus 3:14-16:
3:14 Jika kamu menaruh perasaan iri hati dan kamu mementingkan diri sendiri, janganlah kamu
memegahkan diri dan janganlah berdusta melawan kebenaran!
3:15 Itu bukanlah hikmat yang datang dari atas, tetapi dari dunia, dari nafsu manusia, dari setan-setan.
3:16 Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat.

Ada dua “pukulan telak” yang dikirimkan Yakobus bagi manusia-manusia bertipe EGI (EGois & Iri.) Pertama, Yakobus memberitahukan kepada kita bahwa Egois dan iri tidak pernah bersumber dari Tuhan, tapi dari setan. So … manusia yang egois dan iri pasti bukan pengikut Tuhan. Kedua, Yakobus “memukul” dengan kata-kata tajam untuk menyadarkan manusia bahwa EGI pasti menghasilkan kekacauan dan tindakan-tindakan bodoh dan jahat! So … waspadalah … waspadalah!

2. Tidak tahu malu (TTM)
Apa yang biasa dilakukan oleh orang yang tidak tahu malu, terekam jelas dalam Amsal 9:13-17:
9:13 Perempuan bebal cerewet, sangat tidak berpengalaman ia, dan tidak tahu malu.
9:14 Ia duduk di depan pintu rumahnya di atas kursi di tempat-tempat yang tinggi di kota,
9:15 dan orang-orang yang berlalu di jalan, yang lurus jalannya diundangnya dengan kata-kata:
9:16 "Siapa yang tak berpengalaman, singgahlah ke mari"; dan kepada orang yang tidak berakal budi, katanya:
9:17 "Air curian manis, dan roti yang dimakan dengan sembunyi-sembunyi lezat rasanya."

Memang dalam Amsal dikiaskan orang yang tidak tahu malu tersebut adalah seorang perempuan, tetapi kita akan memetik pesan utamanya bukan dari siapa orang yang tidak tahu malu tersebut?.
Perempuan atau laki-laki? Pesan utama yang hendak kita kenali adalah seperti apa polah tingkah orang yang tidak tahu malu tersebut?
Pertama, orang yang tidak tahu malu senang berada diantara keramaian dan selalu mencari perhatian atau menonjolkan dirinya, misalnya saja dengan dandanannya yang mencolok dan tidak pada tempatnya. Kedua, orang yang tidak tahu malu dengan bangga menceritakan pengalaman-pengalamannya, termasuk pengalamannya yang melanggar aturan-aturan.
Coba bayangkan apa jadinya jika sahabat kita ternyata orang yang tidak tahu malu? Dan masih saja di dekat kita? “CAPE’DEH….!” Pasti kita tidak tahan! Bisa jadi dia pernah meminjam dasi kita dan pura-pura lupa mengembalikan. Atau dia meminjam uang kita dan tetap sok akrab, sok baik dan jika ditagih jawabnya selalu tar-sok, tar-sok alias entar – besok, entar – besok. Kalau ternyata ada orang disekitar anda, rekan bisnis, tetangga, teman kuliah, segeralah mendoakan mereka sebab mereka sedang SAKIT JIWA!
TERARAH DALAM LANGKAH

Fajar merekah, menyembul muncul mengganti langit kelam di tahun silam
Semburat merah di timur muncul dan membuat luntur embun yang semalaman tergolek di atas rumput dan dedaunan
Isak tangis, derai tawa…peluh bahkan cucuran darah
Bukanlah ukuran kebahagiaan
Yang kemarin terjadi bukan berarti esok tak kan datang lagi
Tapi bukan juga untuk ditakuti
Kebahagiaan datang seperti fajar yang merekah..
Saat hidup ini terarah dalam langkah..
Tak takut melepaskan kalau memang harus dilepaskan
Tidak juga gentar untuk memikul jika memang harus kita yang menanggung
Kebahagiaan datang seperti fajar yang bersinar
Saat hidup ini dilalui dengan benar..
Tetap kokoh walau menangis
Dan tidak lengah walau tertawa..


Nanang
Jangan tambah duka kami!

Kematian adalah peristiwa, terpisahnya roh dari tubuh. Kematian datang menjemput kapan saja, dimana saja, dan tidak pandang bulu. Dan dimana saja peristiwa kematian terjadi selalu ada air mata yang jatuh menetes. Entahkah mereka dari keluarga yang berada atau pun yang kurang mampu.
Ada beberapa sebab yang menjadikan kita menangis pada waktu kematian menjemput orang-orang yang kita kasihi. Pertama, kita menangis saat kita menyadari bahwa tubuh kita (jasad) ini terpisah dengan orang yang kita kasihi. Kita tidak dapat bicara lagi dengan dia, dia tidak lagi menjawab keluh kesah kita. Semakin lama dan dalam kita mengenal orang yang meninggal tersebut, semakin jelas goresan kesan yang ditinggalkannya. Kedua, kita menangis karena mengingat kebaikan-kebaikan orang tersebut, kita tidak akan menjumpainya lagi, semuanya tinggal kenangan.
Ketiga, kita menangis karena penyesalan. Menyesali karena kita merasa belum bisa membahagiakan orang tersebut, atau kita merasa belum bisa membalas kebaikannya. Atau mungkin juga menyesal karena kita belum meminta maaf atas kesalahan kita, atau karena kita tidak mendengarkan permintaan terakhirnya. Sebab keempat, mengapa kita menangis dalam peristiwa kematian orang-orang yang kita kasihi adalah karena kita tidak puas, tidak mengerti rencana Tuhan. Dalam keadaan begini Tuhan serasa jauh diseberang dan kita ditinggalkan sendirian ditepian jurang kesunyian.
Bisa jadi, kita menangis meraung-raung karena keempat sebab di atas kita rasakan semuanya dan kita menjadi stress. Rasanya kumpulan alasan itulah yang menyebabkan seorang bapak muda dan isterinya menangis sesenggukan di Jum,at pagi yang sunyi 24 Juni 2004 lalu. Air matanya terkuras, setelah semalaman menangis menunggui jasad putri keduanya yang masih orok. Suami-isteri muda ini, sepertinya “complain” dengan situasi yang dialaminya. Mereka menjerit mengapa semua ini harus terjadi? Si orok yang meninggal itu lahir dengan prematur, ditengah situasi kantong si bapak yang juga prematur.
Untuk biaya bersalin di bidan ia harus ngutang, untuk beli susu khusus bayi prematur ia harus banting tulang. Tapi apa yang terjadi? Dua minggu berselang, si orok berpulang, meninggalkan bapak dan emaknya yang menanggung hutang. Pagi 24 Juni yang sepi itu, air mata mereka habis, tapi duka belum juga berakhir, rumah petak yang mereka kontrak seperti mau meledak mendengar berita bahwa si orok tidak bisa dimakamkan menurut kepercayaan si bapak yang Nasrani asli. Maklum makam itu tidak menerima anggota Nasrani.
Saat seperti itulah mereka juga harus menelan nasehat Zofar pada Ayub yang menderita: “Dapatkah engkau memahami hakekat Allah…tingginya seperti langit….(Ayub 11:7-8) Mereka harus berdamai dengan kenyataan. Kenyataan bahwa mereka tidak dapat menyelami semua rencana Allah.
Memang yang kita sesalkan adalah, mengapa ditengah duka yang mendalam masih ada saja orang yang memberi patok-patok pada kuburan dengan istilah kuburan Kristen dan bukan Kristen. Hidup dibedakan, matipun dibedakan. Bukankah setelah jasad kita mati, semua akan menjadi debu tanah? Kalau hidup layak menjadi sesuatu yang mahal, mengapa mati dan dikubur secara layak juga ikutan mahal? Mahal dari segi administrasi sampai urusan gali-menggali. Kalau saja masih ada kekuatan, mungkin bapak muda tadi akan berkata dengan lemah: “tolong jangan tambah duka kami”

Segenggam Perasaan thd Kel. Marulituo Situmorang

mylove

Love….

Sepuluh tahun yang lalu aku didekap anugerah saat boleh mengenalmu
Dan aku tersanjung untuk itu…
Sembilan tahun yang lalu itulah tahun pertama kamu menjadi kekasihku
Dan aku tersanjung karena itu..
Delapan tahun lalu aku bercucur air mata melepas kepergianmu
Aku tetap tersanjung pernah memiliki cintamu…
Tujuh tahun lalu, aku tak mampu menipu diriku untuk mengakui..
Aku masih mengharapkanmu…
Dan aku tersanjung karena engkaupun begitu…
Enam tahun lalu cintaku semakin merekah dan bertambah untukmu
Dan aku tersanjung karena engkau masih disampingku…
Lima tahun lalu..hidupku terpatri dalam janji sehati
Untuk mencintai dan terus berbagi
Dan aku sangat tersanjung mendekap cintamu yang abadi
Empat tahun yang lalu aku menemukan pesan jiwa yang merdu
Sungguh engkaulah anugerah Tuhan bagi pria sepertiku..
Dan aku tersanjung mendampingimu
Tiga tahun lalu.. cinta dan kebanggan akan dirimu memagut sukma
S’bab denganmu pesan dari surga itu nyata bersama hadirnya buah cinta
Dan aku tersanjung kau pilih sebagai belahan jiwa
Dua tahun silam engkau terus menemaniku melintasi malam yang kelam dalam kehidupan…
Engkau menangis saat aku menitikan air mata
Engkau juga tersenyum saat aku tampak bahagia…
Aku sangat tersanjung mengenang bahwa aku tak pernah sendirian
Setahun yang lalu aku terus bertanya: “siapa aku?”
Hingga Tuhan memberikan mutiara sepertimu padaku..
Dan aku tersanjung menerima engkau wahai belahan jiwaku..
Love….
Dari rentang waktu-waktu yang telah kita lewati
Kita mengerti bahwa cinta kasih kita tak semanis mimpi
Tidak juga selalu indah bak pelangi
Tapi aku tetap tersanjung memiliki cintamu..
Apapun adanya dirimu..itu anugerah terindah dalam hidupku!

Buat cintaku K. C. M.
02012007




SUSAHNYA JADI GURU…

Suatu hari Konfusius atau Kung Fu Tse seorang guru dan juga filsuf pada zaman Cino Kuno pernah ditanya oleh seorang muridnya: “Guru, semakin banyak yang kita pelajari, semakain banyak pula yang kita tahu. Dari sekian banyak hal itu apa yang paling perlu kita pelajari?” Sang guru terdiam sejenak, lalu ia menjawab dengan mantap: “Li…adalah hal yang paling perlu kita pelajari!” Apa itu Li ? “Li” adalah “peran yang sesuai dengan hakekat” atau juga dapat diartikan sebagai sebuah “sikap yang patut”
Kung Fu Tse mengajarkan bahwa di dunia ini ada panca hubungan. Kelima hubungan itu adalah, hubungan raja- rakyat; suami-istri; orang tua-anak; kakak-adik; dan atasan-bawahan. Hidup ini akan berjalan dengan baik, indah, rukun apabila setiap orang mampu berperan sesuai dengan hakekat masing-masing. Setiap orang paham Li-nya masing-masing. Seorang raja harus berperan sesuai dengan hakekatnya sebagai raja yang mengayomi rakyatnya. Seorang rakyat harus berperilaku sebagaimana seharusnya rakyat yang menghormati dan membantu rajanya. Seorang suami juga harus menjalankan perannya sebagai suami yang bertanggung jawab terhadap isterinya, menjadi kepala atas rumah tangganya, dan isteri juga harus bertindak sebagaimana seharusnya seorang penolong bagi suaminya. Anak-anak berperilaku sebagaimana seorang anak yang menghormati dan mentaati orang tuanya demikian seterusnya.
Jika kita tarik benang merah falsafah Kung Fu Tse tersebut dan kita ikatkan pada dunia didik-mendidik, maka kita akan menemukan sebuah kebenaran tentang tujuan pendidikan. Entahkah di rumah, di sekolah, di gereja atau di mana saja, seharusnya tujuan pendidikan adalah untuk membawa, membimbing dan mengarahkan seorang murid memahami, menemukan hakekat dirinya atau Li tersebut. Dengan kata lain, pendidikan yang berhasil haruslah membawa seorang peserta didik untuk menjadi dirinya sendiri, bukan menjadi seperti si ini dan si itu!
Inilah seni mendidik sekaligus tantangan dalam mendidik, baik bagi seorang bapak dalam mendidik anak, seorang suami mendidik isterinya, seorang raja mendidik rakyatnya, seorang kakak mendidik adiknya atau seorang bos mendidik anak buahnya. Seorang pendidik tidak boleh memaksakan peserta didik untuk menjadi seperti yang dia mau. Bahkan akan lebih celaka lagi jika sang guru sendiri belum menemukan Li-nya! Dia juga belum yakin, dia itu siapa, seharusnya jadi apa? Jadi, dari semua falsafah yang dilontarkan Kung Fu Tse tentang pendidikan ini, kita dapat memetik 2 pelajaran penting tentang didik-mendidik, khususnya bagi sang pendidik atau calon pendidik.
Pertama, seorang pendidik; entahkah dia seorang raja, bos, bapak, kakak atau yang lainnya haruslah berjuang menemukan Li-nya. Berjuang mencari jati dirinya. Jika dia belum bisa berperan sesuai dengan hakekatnya sendiri, dia belum layak menjadi seorang pendidik. Seorang pendidik tidak boleh mengajarkan sesuatu karena “…katanya….si ini, katanya si itu….” Dia harus mantap karena telah melakukan. Ingatlah bahwa Yesus berhasil menjadi seorang guru yang baik karena dia tahu untuk apa dia harus ada di dunia ini? Karena apa dia harus jadi guru? Jawabannya adalah karena Yesus mau melakukan kehendak Bapa-Nya (Yohanes 4:34). Sang Bapa memang ingin Yesus menjadi pengajar didunia yang kurang ajar ini. Karena Yesus tahu panggilannya ini, Dia mampu memberikan bahan pelajaran secara sederhana; misalnya melalui perumpamaan-perumpamaan yang menggunakan kisah hidup sehari-hari dan yang sangat dipahami oleh masyarakat pada zaman itu.
Melakukan metode tertentu di dalam mendidik seharusnya lahir bukan karena ikut-ikutan, tetapi harus karena seorang pendidik mengetahu bahwa ia memang terpanggil untuk mendidik. Bukan terpanggil untuk masa bodoh. Secara umum Li kita di dunia ini adalah untuk menjadi garam dan terang (Matius 5:13-14) dan semua tindakan kita untuk mendidik harus dengan landasan itu; “membentuk peserta didik menjadi garam dan terang di dunia yang kurang asin dan gelap ini.” Tetapi tidak berhenti sampai di sana, seorang pendidik harus menemukan Li-nya secara khusus. Bagaimana caranya? Tentu hanya bisa ditemukan ketika dia bertanya kepada Tuhan dan berani mencoba setiap kemungkinan yang ada serta semakin mengasah kemampuannya. Artinya, suatu hari nanti, seorang pendidik tidak harus mengerjakan semua hal. Tidak semua bidang harus dia kuasai, tidak semua umur harus diajarnya, tetapi hari demi hari dia harus menjadi semakin tajam pada sebuah bidang tertentu.
Hikmat kedua yang patut diperhatikan oleh seorang pendidik adalah, seorang pendidik atau calon pendidik, tidak akan pernah menjadi pendidik yang baik sebelum dia menjadi murid yang baik. Golda Meier mantan perdana menteri Israel pernah berkata: “Jika seseorang tidak tahu bagaimana menangis, ia juga tidak tahu bagaimana seharusnya tertawa.”
Dalam konteks didik-mendidik perkataan tersebut dapat diartikan seorang pemimpin tidak akan menjadi pemimpin yang baik jika dia belum menjadi bawahan yang baik. Seorang bapak tidak akan menjadi bapak yang baik jika dia tidak pernah menjadi anak yang baik. Intinya adalah, kita tidak akan pernah menghargai sesuatu sampai kita merasakan sendiri sesuatu itu.
Dalam Lukas 14:26-33; Lukas 18:22, Yesus pernah mengajarkan tentang menjadi seorang murid yang baik. Menjadi murid yang baik haruslah menjadi murid yang rela terikat kepada gurunya dalam arti dia memutuskan untuk patuh hanya kepada gurunya dan semua ajaran gurunya, bukan kepada orang lain atau budaya lain (Simak Lukas 14:26) Selain itu, seorang murid yang baik harus menyangkal diri, artinya rela menaklukan segala kemauannya kepada kemauan sang guru. Tidak memberontak dan yakin bahwa sang guru hendak membawanya mencapai keberhasilan. Jadi jangan heran kalau sekarang murid kita; bisa anak, bisa bawahan, bisa isteri memberontak terhadap apa yang kita ajarkan. Periksa diri kita dulu, waktu kita juga jadi anak, atau murid, atau bawahan, jangan-jangan kita tidak patuh pada pendidik kita, kekeuh pada mau kita sendiri.
Jangan lupa juga, kita bisa menemukan Li kita saat kita menjadi murid yang baik, nurut pada apa yang diajarkan guru kita. Murid perlu guru, itu sama dengan manusia butuh cermin buat ngaca, sebab dengan ngaca kita tahu mana yang kurang pas dengan dandanan kita. Akhirnya, saya cuma bisa berkata: “Nggak gampang dan nggak bakalan berhasil mendidik orang, apalagi kalau kita sendiri nggak pernah mau dididik.”

(Pernah dimuat dalam majalah Suara Kharismatika Juni 2006)

Bijaksana

MENYELAMI PIKIRAN SI HERU

Cowok kecil hitam manis itu namanya Heru. Heru masih kelas 5 SD. Orang tuanya saya kenal baik karena mereka bekerja dan tinggal di sebuah villa di daerah puncak yang kami (saya dan teman-teman pelayan) sering gunakan untuk doa dan puasa.
Heru dan orang tuanya hidup dengan sederhana ditengah villa-villa mewah yang sedap dipandang di sekeliling mereka (apalagi buat orang dusun yang sederhana seperti mereka.) Setiap kali ada di sana saya sering melihat Heru pergi, kadang ke gereja kadang pergi les atau kadang juga karena disuruh bapaknya sekedar ke warung yang semua tempatnya ada diluar area villa-villa mewah tersebut. Dibekali dengan sepeda ala federal yang sadel-nya sudah keras seperti batu, Heru dengan kaki kecilnya mengayuh pedal sepedanya melewati jalanan yang di kitari bunga beraneka warna dan pepohonan. Jalanan naik turun, berbelok-belok sudah menjadi rute Heru setiap hari.
Saya membayangkan kalau Heru harus dua atau tiga kali dalan sehari melewati jalanan yang naik-turun tadi. Wah..wah betapa capek-nya sepasang kaki kecil milik Heru. Saya pernah mencoba keluar dari area villa-villa tersebut berbekal sepeda pinjaman (milik si Heru yang sadel-nya keras seperti batu) saya sempat menggerutu dalam hati. Wah amit-amit nafas sudah mau putus rasanya, apalagi waktu mau keluar dari area itu, jalanannya dipenuhi tanjakan. Berat sekali, bahkan rasanya lebih enak jalan kaki.
Mungkin Heru sudah tidak merasa se-capek saya karena suda terbiasa. Tapi namanya manusia apalagi anak-anak rasa capek waktu mau keluar area itu pasti dia rasakan. Waktu jalanan menanjak seperti itu dalam benak saya kepengin banget cepetan balik karena jalanan turun. Pasti enak pikir saya tidak perlu kayuh pedal. Mungkin harapan saya tadi sama seperti harapan Heru, cepetan balik karena jalanan turun dan kaki tidak lagi pegal-pegal.
Cerita tentang hidup Heru tadi rasanya tidak jauh beda dengan kehidupan sehari-hari yang sering kita alami. Pernah kita sama-sama rasakan betapa berat tantangan yang kita hadapi, kadang juga kita bertanya-tanya: …Oh Tuhan kapan jalanan menanjak ini akan berakhir? Bisa jadi saking tidak kuatnya mengayuh pedal kehidupan orang jadi menyalahkan Tuhan. Tuhan tidak adil-lah, Tuhan cuek-lah, bahkan ujung-ujungnya bilang Tuhan itu tidak ada. Gawat ndak?
Kita semua pasti ingin jalan kehidupan kita melaju dengan nyaman tanpa perlu capek-capek mengayuh pedal seperti jalanan yang turun menuju rumah Heru tadi. Tapi itulah kehidupan, kita harus menerima baik jalan menanjak yang membuat kita berpeluh mengayuh ataupun jalan turun yang menjadikan roda kehidupan menggelinding dengan bebas tanpa harus dikayuh. Mungkin kita semua perlu belajar untuk memiliki sikap menerima dengan hati bersyukur apapun jalan yang sedang kita tapaki saat ini.
Cuman sayangnya kita ini sering susah kalau disuruh bersyukur apalagi kalau persoalan-persoalan berat tengah membelit. Tapi bersyukurlah karena ada seorang yang dengan hikmat Allah yaitu Salomo mengajarkan kita bagaimana kita dapat menjadi orang yang nrimo (menerima) dengan lapang dada apa adannya kehidupan ini. Dalam Kitab Pengkhotbah 3:11 Salomo mengatakan bahwa …Allah akan menjadikan semua indah pada waktu-Nya, dan kita harus nrimo juga bahwa kita tidak dapat menyelami semua yang dikerjakan oleh Allah. Kita hanya dapat percaya bahwa waktunya Tuhan itu yang paling pas buat kita mencicipi sesuatu dan kita harus percaya bahwa semua yang dirancangkan Allah itu baik adanya. Amin.
E,e….e jangan lupa juga jalanan yang turun, menggelinding itu bahaya juga lho, kalau kita tidak bisa nge-rem. Jangan sampai juga karena ke-enakan menggelinding, kita lupa daratan, lupa bahwa yang membuat semua menggelinding dengan nyaman juga Tuhan. Bersyukur sajalah, biar menanjak atau menggelinding jalan hidup kita, yang penting bersama Tuhan. Baca sendiri Roma 8:28!

puisi

JABLAI
(JAkarta Banjir LAgI)

Kotaku sama seperti yang dulu lagi
Kenyang disambangi air bersenti-senti
Puas ditiduri air berhari-hari
Kotaku memang tak pernah sepi
Ramai dijejali para pengais rejeki
Yang setiap pagi menanti metromini
Kotaku bahkan tak sepi mesti banjir datang lagi
Jalanan tetap saja sesak karena pengungsi
Kotaku seakan tak pernah mati
Meskipun kereta api tak lagi berlari
Sebab jalannya dirampas para pemimpi yang kini merenung sepi menangisi gubuknya yang telah pergi disapu banjir pagi-pagi
Jakarta banjir lagi
Membuat kota ini semakin ramai
Disesaki para pengungsi yang harus mengantri, berjam-jam bahkan bermandi peluh demi mendapat sebungkus nasi yang bahkan telah basi karena dibungkus terlalu pagi
Berjam-jam bermandi peluh bahkan berkelahi demi mendapat sekardus mie tanpa api
Kotaku banjir lagi…
Dan kini menyisakan sampah, wabah, dan juga sebongkah lelah, resah dan gelisah karena terjaga sepanjang malam menjagai pondokan yang telah basah.
Jakarta banjir lagi…
Tapi Jakarta tak pernah sepi
Separuhnya memang telah hancur
Tapi Jakarta tak pernah tidur