Kamis, 31 Juli 2008

Jangan tambah duka kami!

Kematian adalah peristiwa, terpisahnya roh dari tubuh. Kematian datang menjemput kapan saja, dimana saja, dan tidak pandang bulu. Dan dimana saja peristiwa kematian terjadi selalu ada air mata yang jatuh menetes. Entahkah mereka dari keluarga yang berada atau pun yang kurang mampu.
Ada beberapa sebab yang menjadikan kita menangis pada waktu kematian menjemput orang-orang yang kita kasihi. Pertama, kita menangis saat kita menyadari bahwa tubuh kita (jasad) ini terpisah dengan orang yang kita kasihi. Kita tidak dapat bicara lagi dengan dia, dia tidak lagi menjawab keluh kesah kita. Semakin lama dan dalam kita mengenal orang yang meninggal tersebut, semakin jelas goresan kesan yang ditinggalkannya. Kedua, kita menangis karena mengingat kebaikan-kebaikan orang tersebut, kita tidak akan menjumpainya lagi, semuanya tinggal kenangan.
Ketiga, kita menangis karena penyesalan. Menyesali karena kita merasa belum bisa membahagiakan orang tersebut, atau kita merasa belum bisa membalas kebaikannya. Atau mungkin juga menyesal karena kita belum meminta maaf atas kesalahan kita, atau karena kita tidak mendengarkan permintaan terakhirnya. Sebab keempat, mengapa kita menangis dalam peristiwa kematian orang-orang yang kita kasihi adalah karena kita tidak puas, tidak mengerti rencana Tuhan. Dalam keadaan begini Tuhan serasa jauh diseberang dan kita ditinggalkan sendirian ditepian jurang kesunyian.
Bisa jadi, kita menangis meraung-raung karena keempat sebab di atas kita rasakan semuanya dan kita menjadi stress. Rasanya kumpulan alasan itulah yang menyebabkan seorang bapak muda dan isterinya menangis sesenggukan di Jum,at pagi yang sunyi 24 Juni 2004 lalu. Air matanya terkuras, setelah semalaman menangis menunggui jasad putri keduanya yang masih orok. Suami-isteri muda ini, sepertinya “complain” dengan situasi yang dialaminya. Mereka menjerit mengapa semua ini harus terjadi? Si orok yang meninggal itu lahir dengan prematur, ditengah situasi kantong si bapak yang juga prematur.
Untuk biaya bersalin di bidan ia harus ngutang, untuk beli susu khusus bayi prematur ia harus banting tulang. Tapi apa yang terjadi? Dua minggu berselang, si orok berpulang, meninggalkan bapak dan emaknya yang menanggung hutang. Pagi 24 Juni yang sepi itu, air mata mereka habis, tapi duka belum juga berakhir, rumah petak yang mereka kontrak seperti mau meledak mendengar berita bahwa si orok tidak bisa dimakamkan menurut kepercayaan si bapak yang Nasrani asli. Maklum makam itu tidak menerima anggota Nasrani.
Saat seperti itulah mereka juga harus menelan nasehat Zofar pada Ayub yang menderita: “Dapatkah engkau memahami hakekat Allah…tingginya seperti langit….(Ayub 11:7-8) Mereka harus berdamai dengan kenyataan. Kenyataan bahwa mereka tidak dapat menyelami semua rencana Allah.
Memang yang kita sesalkan adalah, mengapa ditengah duka yang mendalam masih ada saja orang yang memberi patok-patok pada kuburan dengan istilah kuburan Kristen dan bukan Kristen. Hidup dibedakan, matipun dibedakan. Bukankah setelah jasad kita mati, semua akan menjadi debu tanah? Kalau hidup layak menjadi sesuatu yang mahal, mengapa mati dan dikubur secara layak juga ikutan mahal? Mahal dari segi administrasi sampai urusan gali-menggali. Kalau saja masih ada kekuatan, mungkin bapak muda tadi akan berkata dengan lemah: “tolong jangan tambah duka kami”

Segenggam Perasaan thd Kel. Marulituo Situmorang

Tidak ada komentar: